Hukum dapat dibenarkan mencampuri kebebasan warga negara hanya manakala kebebasan warga negara itu telah merugikan warga lain
BUNTUT penyerangan berdarah di Cikeusik Pandeglang Banten, beberapa daerah mengeluarkan instrumen hukum yang melarang aktivitas Jamaah Ahmadiyah Indonesia. Setelah Gubernur Jatim mengeluarkan SK Nomor 188/94/Kpts/013/2011 yang berisi pelarangan aktivitas keagamaan Ahmadiyah, Pemprov Jabar mengeluarkan instruksi serupa, yang diikuti berbagai daerah, antara lain Pamekasan dan DKI Jakarta.
Perkembangan legislasi di aras lokal yang paralel dengan wacana pelarangan aliran Ahmadiyah tersebut menggiring kita pada perenungan: apakah negara memang dapat dan dibenarkan mengadili keyakinan yang berada dalam ranah pikir warganya? Adakah justifikasi negara untuk mengadili dan bahkan memaksakan suatu keyakinan dengan melakukan pelarangan?
Beragama dan berkeyakinan adalah hak asasi manusia (HAM), suatu hak fundamental seseorang karena kodrat kelahirannya. Hak ini mendahului eksistensi negara sehingga tak ada pilihan lain bagi negara kecuali harus menghormati, melindungi, memenuhi, dan memajukannya. Dalam paham kedaulatan rakyat, negara diadakan untuk melindungi hak dan kebebasan asasi ini, dan jika gagal mencapainya bisa menjadi justifikasi, bahkan untuk membubarkan dan mengganti dengan negara atau pemerintahan baru.
Keberagamaan dan keyakinan ada dalam relung kalbu terdalam manusia. Eksistensi manusia bahkan ditentukan dari kemerdekaannya berpikir, berkeyakinan, dan menganut pendapat secara bebas. Adanya kemerdekaan berkeyakinan dan keberagamaan adalah cerminan manusia bermartabat. Hanya negara berwatak totaliter-otoritarian yang mendikte apa yang harus diyakini warga, apa yang harus diterima sebagai kebenaran.
Sedemikian kuatnya hak beragama dan berkeyakinan maka pembatasan apapun tak dapat dikenakan padanya. Dalam The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, kebebasan beragama termasuk sebagai non-derogable rights, hak-hak yang tak dapat dikurangkan walau dalam keadaan state emergency sekalipun.
Runtuhkan Komitmen Hak beragama dan berkeyakinan adalah salah satu di antaranya, bersama hak lain seperti hak untuk tak disiksa dan hak untuk tidak diperbudak. Dalam level domestik, kedudukan kebebasan beragama sebagai hak yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apapun pula mendapat jaminan dalam UUD 1945.
Dalam konteks pelarangan Ahmadiyah di beberapa daerah, apapun keyakinan yang dianut pengikut kelompok ini harus dipandang sebagai HAM yang semestinya mendapat pengakuan dari negara. Negara harus menahan diri dari berpihak pada klaim bahwa yang diyakini Ahmadiyah adalah salah, sesat, dan karenanya harus dieliminasi. Sesuatu yang diyakini sebagai salah, tidak benar, bahkan sesat bagi satu kelompok, bisa jadi diyakini sebaliknya oleh kelompok lain.
Lebih jauh, hukum ada dan diciptakan bukan untuk mengadili pikiran, termasuk di dalamnya keberagamaan dan keyakinan. Secara teknis, hukum bahkan tak akan mampu menjangkau pikiran dan karena itu dalam hukum, sikap batin bukan hal yang relevan untuk dikriminalisasi. Hukum dapat dibenarkan mencampuri kebebasan warga negara hanya manakala kebebasan warga negara itu telah merugikan orang lain.
Jika negara hendak menggunakan tolok ukur kelompok tertentu dalam masyarakat untuk menganggap sesat satu kelompok dan aliran keyakinan maka sesungguhnya negara telah berpihak dan gagal berdiri di atas semua golongan. Negara seperti itu telah keluar dari prinsip pembatasan kekuasaan, bahkan kehilangan muruah (kehormatan) dan statusnya sebagai negara nasional.
Dimasukinya ranah pikir dan keyakinan warga akan menjadi titik awal negara untuk menghakimi moralitas warga sekalipun tak memiliki dimensi kepentingan publik.
Pada akhirnya tulisan ini meyakini, undangan dan seruan sebagian kita terhadap negara untuk merepresi dan mengeliminasi mereka yang berbeda keyakinan sesungguhnya meruntuhkan komitmen kita sendiri untuk menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. (10)
— Manunggal K Wardaya SH LLM, dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman