Menu Tutup

NII dan Paham Kebangsaan

BEBERAPA pekan terakhir publik dihentakkan oleh berita pencucian otak terkait dengan Negara Islam Indonesia (NII). Media memberitakan menghilangnya sejumlah orang (terutama mahasiswa) diduga terkait dengan gerakan yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara agama. Tak saja mengalami kerugian material berupa sejumlah uang yang konon diklaim untuk mendanai negara yang tengah mereka perjuangkan, korban pencucian otak itu umumnya ditemukan atau kembali dalam kondisi kejiwaan terganggu. Pepi Fernando, otak jaringan teror bom buku dan bom di jalur pipa gas Gading Serpong juga disebut-sebut pernah menjadi anggota NII (SM, 28/04/11).

Kasus cuci otak bukan hal yang baru, mengingat pada dekade 1990-an, fenomena NII dan apapun gerakan berbanderol negara agama di Indonesia dengan perekrutan terutama kaum terpelajar/ mahasiswa telah terjadi walau tanpa liputan gencar media seperti sekarang. Tulisan ini secara ringkas menelaah fenomena NII dalam sudut pandang hukum dan sejarah ketatanegaraan.

Keinginan menjadikan Indonesia sebagai negara agama sebenarnya sudah muncul sejak perdebatan di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tercatat bahwa dalam perumusan draf UUD 1945 terdapat kelompok yang berkehendak kuat agar Indonesia menjadi negara agama, dengan Islam sebagai agama negara. Diusulkan pula dalam draf UUD 1945 agar presiden haruslah beragama Islam. Piagam Jakarta yang kemudian bermetamorfosis menjadi Pembukaan UUD 1945 awalnya mencantumkan ’’ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’’.

Sejarah membuktikan bahwa negara agama bukan pilihan pendiri bangsa yang menyadari kemajemukan Indonesia. Produk UUD 1945 yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus menegaskan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi (bukan teokrasi) dengan kedaulatan di tangan rakyat.

Walau aspirasi negara agama tetap menyala dengan diproklamirkannya Darul Islam (DI) oleh Kartosoewiryo pada 1949, pilihan untuk tetap menjadi negara bangsa tetap dikukuhi hingga MPR melakukan perubahan terhadap konstitusi tertulis yang dikenal singkat dan supel itu. Pembukaan UUD 1945 yang memuat Pancasila disepakati untuk tidak diubah. Indonesia tetaplah negara Pancasila yang berketuhanan, tanpa memberi privilege pada agama tertentu untuk menjadi agama negara.
Rumah bagi Semua

Kendati tak hendak menjadi negara yang mendasarkan pada agama tertentu, bukan berarti kehidupan berbangsa dan bernegara hendak disterilkan dari agama. Alih-alih demikian, Indonesia dicitakan menjadi rumah besar suatu entitas yang berkesadaran sebagai satu keluarga (wangsa, bangsa) kendati beragam perbedaan mewarnai termasuk perbedaan keyakinan dan keberagamaan.

Karenanya dalam bingkai konstitusi, tak ada alasan kekhawatiran bagi minoritas agama untuk tak terlindungi. Sebaliknya, mayoritas agama tak perlu khawatir terampas ataupun terkurangi kemerdekaan beragama dan memanifestasi agama manakala pejabat penyelenggara negara bukan berasal dari agama mayoritas. Kalaupun hal itu sampai terjadi, berbagai saluran perlindungan menurut konstitusi dapat difungsikan, antaranya melalui sarana hukum pidana, mekanisme judicial and constitutional review, hingga peradilan administrasi negara.

Adalah kewajiban pemerintah menjalankan konstitusi termasuk pula menegakkan cita-cita sebagai negara bangsa yang berdiri di atas semua golongan. Untuk itu, segenap kewenangan konstitusional pemerintah harus difungsikan untuk mencegah berkembangnya aspirasi negara agama, terlebih jika gerakannya telah mewujud dalam tindakan riil yang merugikan masyarakat. Pendekatan dialogis pun terhadap wacana ideologis seperti NII mesti terus dilakukan secara terbuka dan demokratik.

Pada titik inilah tulisan ini meyakini bahwa pendidikan dan pemahaman kehidupan berkonstitusi menemukan relevansinya untuk (terus) dilakukan semua badan negara terkait (MPR, Mahkamah Konstitusi). Sosialisasi konstitusi ini penting guna menumbuhkan pemahaman kepada segenap warga negara bahwa rumah Indonesia adalah rumah bagi semua agama dan keyakinan, tanpa harus terjebak pada formalisasi agama dalam mengarungi kehidupan berbangsa dan bernegara. (10)

— Manunggal K Wardaya SH LLM, dosen Fakultas Hukum Unsoed, alumnus Monash University Australia dan Institute of Social Studies Belanda

Posted in Berita