Menu Tutup

Kritik SBY terhadap Pers

Suara Merdeka: 16 Juli 2011
Pendekatan melalui jalur yang dikenal dalam dunia jurnalistik akan lebih baik bagi citra SBY dan PD ketimbang menyalahkan pers secara pukul rata tanpa menunjuk media yang dimaksud

TATKALA menyampaikan pernyataan pers di kediamannya, Puri Cikeas (11/07/11), Ketua Dewan Pembina DPP Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melontarkan sinyalemen bahwa pers telah memecah-belah partainya, terkait dengan gencarnya pemberitaan mengenai kasus mantan bendahara umum partai M Nazaruddin. Yudhoyono merasa gusar dengan pers yang menyoroti konflik partai dengan mendasarkan pada SMS dan BlackBerry Messenger (BBM) seraya melontarkan spekulasi adanya intrik politik di balik pemberitaan media untuk mendiskreditkan partainya. Gusar karena media menggunakan pesan pendek yang menurutnya tidak valid, sebagai materi headline. Dia yang pula presiden mewanti-wanti publik jangan mau dipecah-belah. Tulisan ini akan mengkaji pernyataan SBY dalam perspektif hukum pers dan filsafat hukum ketatanegaraan.

Menerima, mengolah, dan menyampaikan informasi adalah kegiatan pers sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 Butir (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam kerangka pikir tentang hakikat pemilik kuasa tertinggi, rakyat memiliki hak dan kebebasan dasar, termasuk hak dan kebebasan atas informasi, berbicara, berpendapat, dan berekspresi; serangkaian hak dan kebebasan dasar manusia yang diakui dalam Deklarasi HAM PBB 1948 dan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik 1966.

Berbagai hak yang diakui secara universal itu menjiwai dan menjadi muatan konstitusi tertulis UUD 1945, serta UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU Pers. Serangkaian kebebasan itu dijamin dan dilindungi negara, mewajibkan negara, menurut hukum internasional, untuk melakukan langkah-langkah efektif memastikan pemenuhannya. Kemerdekaan pers adalah manifestasi prinsip kedaulatan rakyat yang inheren dengan penghormatan hak dan kebebasan asasi manusia.

Informasi pers menjadi pencerah, memberi informasi seluas-luasnya dalam rangka melaksanakan fungsi kontrol sosial dengan satu legitimasi luhur: kepentingan umum. Sudah barang tentu, dalam menjalankan perannya yang dijamin oleh Pasal 6 Butir (d) UU Pers, media tidak dapat menjalankan fungsi sebebas-bebas dan semaunya. Kemerdekaan pers selain dijamin sebagai HAM, juga dibatasi oleh hukum dan kode perilaku jurnalistik.

Alihkan Perhatian

Dalam konteks keberatan SBY terkait validitas pesan singkat dari berbagai moda komunikasi yang diklaim berasal dari Nazaruddin, sebenarnyalah keraguan itu bukannya sesuatu yang tidak wajar. Hanya, kritik atas digunakannya pesan pendek sebagai sumber informasi seraya menambahkan bahwa hal itu sebagai upaya mendiskreditkan partainya memberi kesan kuat akan ketidakpahamannya tentang hukum pers. Mestilah dipahami, pada dasarnya segala macam sumber informasi (terlebih pada era digital seperti sekarang) dapat digunakan selama ia kredibel dan diyakini validitas dan akurasinya oleh jurnalis.

Kalaupun yang diberitakan media sesuai dengan keterangan sumber berita itu disangkal kebenarannya maka harus pula diingat bahwa kebenaran jurnalistik bukanlah kebenaran hukum melainkan kebenaran narasumber.

Adalah bagian dari kewajiban etik jurnalis untuk merahasiakan sumber berita, termasuk sumber SMS dan BBM jika itu memang dipandang perlu untuk melindungi narasumber atau atas permintaan sumber berita itu.

Seandainya SBY atau PD merasa dirugikan oleh pemberitaan yang bersumber dari berbagai SMS dan BBM, dia dan partainya memiliki hak menggunakan hak jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (2) UU Pers yang secara detail dituangkan dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 9 tentang Pedoman Hak Jawab.

Hak jawab bersama hak koreksi adalah jantung hukum pers yang mengharuskan pers melayani seseorang atau sekelompok orang yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan. Jika meyakini ada pelanggaran atas kode etik jurnalistik, dia dapat mengadukan penanggung jawab media kepada Dewan Pers.

Tulisan ini meyakini bahwa pendekatan melalui jalur yang dikenal dalam dunia jurnalistik akan lebih baik bagi citra SBY dan PD ketimbang menyalahkan pers secara pukul rata tanpa menunjuk media yang dimaksud. Selain merefleksikan ketidakpahamannya akan hukum media, menyalahkan pers terkait kasus Nazaruddin, yang juga anggota DPR, justru memberi kesan kuat upaya partai itu untuk mengalihkan perhatian atas kasus besar yang amat sangat mengikis kepercayaan publik. (10)

— Manunggal K Wardaya SH LLM, dosen Fakultas Hukum Unsoed Purwokerto

Posted in Berita